Tersesat di kampung Iblis - Chapter 8 - Rumah kecil di kegelapan malam


Aku lumpuh, diam terduduk, menatap tubuh tak berkepala itu datang dan menjulurkan tangannya, apakah dia akan mencekikku?
Bagaimana mungkin di hadapanku ada sebuah badan tanpa kepala, dan aku masih tenang aja, aku berusaha dengan segenap tenagaku untuk menggerakkan lututku untuk bangun dan berlari.
Tapi rasanya berat sekali, seakan-akan kaki dan badanku di paku ke bumi.
Tapi di saat dia kembali maju selangkah, aku akhirnya berhasil memundurkan posisi dudukku, dan kini aku juga sudah bisa mengangkat badanku walau bergetar hebat.
Aku kemudian berdiri dan balik badan untuk lari, beberapa langkah aku berlari, aku kembali jatuh, beberapa kali aku seperti itu tetapi pada akhirnya aku mampu benar-benar berlari, tanpa menoleh lagi ke belakang.
Betapa sempitnya lembah tempat aku jatuh ini, aku harus memaksakan badanku untuk menembus dahan pohon, ilalang dan dinding tanah yang menghimpit badanku.
Aku berhasil melarikan diri, tapi aku tetap belum mau melihat ke belakang, dan tanpa kusadari ternyata kakiku menginjak air.
Lembah ini ternyata menembus sungai dangkal, aku berhenti sejenak dan mengatur nafas, tampaknya mahkluk tak berkepala itu tidak mengejarku.
Aku lalu istirahat, duduk diatas batu besar, sekilas bayangan langit dapat terlihat di aliran air yang tenang, tidak ada daun bambu yang menutup langit, dibagian sungai ini.
Aku menutup mataku dengan kedua tanganku.
"Ya Allah yang Maha Agung, bantu hambamu keluar dari cobaan ini"
Aku memanjat doa sambil menangis.
Selama ini aku selalu berpikir, bahwa di dunia ini penghuninya hanya Manusia beserta Alamnya yang nyata di hadapanku.
Aku terkadang takut mengakui bahwa ada penghuni lain di dunia ini, yang sering aku hindari keberadaanya.
Aku lebih suka melihat sesuatu yang tampak jelas di depan mataku, aku lebih suka mengacuhkan keberadaan Dunia jin, iblis, setan dan lain-lainya.
Aku nyaman tidak melihat mereka.
Apabila kita tidak melihat mereka, apakah berarti mereka tidak melihat kita juga.
Atau apakah kita tidak melihat mereka, tetapi mereka melihat kita ?
Aku sombong, aku tak acuh, aku takut dan aku secara tidak sengaja terjebak di dunia yang tidak tampak di mataku.
Betapa naifnya aku hidup di dunia ini, apakah terlambat bagiku kembali pulang ke dunia yang membawa pada kenyamananku.
Kemana kah kalian temanku ... ?
Help ... Me ...
Rina, Sofi, Gina, dimanakah kalian semua?, ayah, bunda tolong aku..
Aku masih terisak diatas batu, melampiaskan emosiku sesaat.
Lalu, beberapa saat kemudian aku teringat dengan Rina, sahabatku yang kukagumi karena keberaniannya.
Aku tidak boleh terpuruk, aku harus mencontoh keberanian Rina, disituasi ini aku yakin seberapa pun takutnya dia, akal yang diberikan Tuhan, akan ia gunakan untuk berpikir.
Aku juga bisa seperti itu, aku harus bangun, bukan saatnya menjadi orang lemah. Aku harus berpikir bagaimana aku keluar dari sini.
Aku, berdiri diatas aliran air yang dangkal, mataku yang sudah terbiasa dengan gelap, mencari jalan untuk aku tuju.
Aku akan menuju perkemahan, hanya itu jalan ku untuk selamat dari malam ini.
Tetapi untuk menuju perkemahan aku harus kembali menembus hutan bambu itu lagi.
Mataku mencoba mencari jalan masuk ke hutan bambu yang sudah aku kenal, walau dalam gelap aku masih mengenal arah jalan yang telah aku lalui siang tadi.
Tidak ada pilihan lain, aku harus berjalan menembus kembali hutan bambu itu, atau aku mati disini seorang diri, nyali ku tidak mampu untuk menunggu datangnya pagi di kegelapan malam ini.
Bismillahirraḥmanirraḥim
Aku kembali memasuki jalan setapak itu, aku yakin tidak jauh dari aku berjalan aku akan kembali menemukan tempat aku tergelincir tadi. Tapi semoga saja aku tidak bertemu kembali denhan mahkluk tak berkepala itu.
Mengingatnya saja sudah merinding, selagi berjalan aku sempat kepikiran bagaimana orang itu bisa mati tanpa kepala, apakah ada yang menebas kepalanya? dan apakah potongan kepala yang kutemukan sebelumnya itu adalah kepala dia.
Hiii... aku bergidik.
Aku berusaha melupakan si manusia tanpa kepala itu, aku harus fokus melangkahkan kakiku yang berat ini untuk menuju perkemahan.
Hatiku kembali tertegun selagi kakiku melangkah, aku seperti ada yang mengawasi dari kegelapan malam ini, aku merasakan mata-mata mengawasiku dari belakang ilalang ini.
Sumpah, inilah yang kurasa pada siang tadi, seperti sedang diikuti.
Walau takut tetap melanda diriku, aku lebih berani kali ini, karena saat ini aku tidak bisa menggantungkan diriku dengan teman-temanku.
Hanya aku dan Tuhan saja yang menemaniku di kecekaman malam ini. Mulutku tak berhenti komat kamit berzikir, tetapi hatiku tak bisa berbohong, aku takut, berarti sudah tiga kali aku melalui jalan ini, seakan-akan memang takdir mengharuskan ku untuk selamat dari jalan ini atau mati di sini juga.
Aku terus melangkah pelan mencoba menyusuri jalan yang seharusnya aku sudah hapal. Tetapi langkahku seperti jalan di tempat, berputar-putar tak karuan.
Apakah aku akan kembali tersesat di jalan ini, hatiku mulai kembali risau. Mengapa harus aku ulangi tersesat di jalan ini lagi, jantungku mulai berdegup kencang kembali. aku mulai tidak bisa kembali mengendalikan diri.
Aku sudah berjalan tanpa sinar apapun kecuali sinar kecil dari langit, mataku sudah lama terbiasa dengan gelap.
Tiba-tiba aku seperti merasakan hembusan nafas dileherku, aku memalingkan muka dengan cepat.
Tidak ada apa-apa dibelakangku.
"Gusrakkk... "
Kini terdengar suara seperti benda jatuh di hadapanku, aku kembali mencari arah suara itu, tidak ada apa-apa juga.
Keringat dingin mulai kembali mengembun di dahiku, aku tidak boleh takut, aku tidak boleh mati disini.
Aku merasa banyak sudah langkahku berjalan di hutan ini, tapi mengapa aku tidak menemukan juga tempat yang aku kenal, seperti tempat aku tergelincir atau tempat aku menemukan laki-laki yang gantung diri.
Ini seperti wilayah baru yang belum aku lewati sebelumnya, dimanakah aku berada saat ini?
Apakah aku tersesat lagi?
Tetesan air mata mulai menitik, tak terhitung sudah berapa kali aku menangis malam ini.
Apakah aku telah disesatkan oleh kaum jin?
"Lindungilah hambamu Ya Tuhan.. "
Lalu secara tidak sengaja aku melihat sebuah titik merah, seperti api obor tapi dia tidak bergerak, apakah itu lampu ?.
Penasaran, aku mencoba mendekati dengan perlahan, dengan gugup dan jantung berdegup kencang, akhirnya aku sampai tempat tersebut.
Itu adalah sebuah lampu kecil yang menerangi sebuah rumah gubuk kecil. Jantungku berdegup keras, apakah ini rumah manusia atau jadi-jadian, pikirku.
Aku tidak bisa berpikir jernih, apa yang harus aku lakukan, apakah aku harus lari atau mengetuk pintu rumah itu.
Aku bimbang, bagaimana ada sebuah rumah di tengah hutan bambu ini, tapi kalau memang itu rumah, berarti ada penghuninya karena lampunya menyala dan aku butuh pertolongan.
Hatiku masih bimbang.
Tapi pada akhirnya aku memutuskan untuk melangkah maju ke depan pintu rumah kecil itu.
Aku menelan ludah, dan mulai mengacungkan jariku untuk mengetuk pintu.
Baru saja jariku hendak menyentuh daun pintu, aku dengar dari dalam keluar suara.
.
" Siapa disana? "
suara laki-laki kataku, berat dan serak seperti suara kakek-kakek.
Darimana, dia tahu aku ada diluar rumahnya.
Bulu kudukku berdiri, hati ku berkata
" Lari.. Sari. !!! Lari "
Tapi akalku berkata tinggal, kuatkan dirimu, kita butuh bantuan.
Aku berdiri mematung di depan pintu gubuk, entah apa yang harus aku lakukan, bahkan aku tidak menjawab pertanyaan suara itu.
Dikit demi sedikit pintu rumah itu terbuka, keringatku mengucur, teman baikku si rasa takut memancang badanku ke tanah.
Aku menatap dengan badan gemetaran disaat ada sebuah sosok muncul dari belakang pintu.

continue to next chapter

Taken from my own personal Novel, already published on Mangatoon & Wattpad

Allright Reserved

Tersesat di kampung Iblis - Chapter 8 - Rumah kecil di kegelapan malam Tersesat di kampung Iblis - Chapter 8 - Rumah kecil di kegelapan malam Reviewed by anatama2104 on 4:06 PM Rating: 5

No comments:

300 kedua
Powered by Blogger.