Tersesat di kampung Iblis - Chapter 9 - Glutonny


Sebuah sosok itu keluar dari pintu, badannya begitu tinggi sehingga bayangannya saja bisa menutupi badanku, lalu ia menunduk dan menatapku dengan dalam, Aku mundur selangkah, sambil menelan ludah dan menganggukan kepalaku padanya, sekan-akan memberi permintaan maaf untuk menganggunya.
Dia menatap tajam, ke bawah, ke mataku seakan-akan ia sedang menyelidiki aku, ada sedikit rasa takut pada diriku, tapi ada sesuatu yang aneh pada dirinya, seakan-akan ada aura yang membuatku untuk tetap tenang.
Secara tak sengaja aku membalas menatapnya. Dia adalah seorang laki-laki tua, kepalanya tak berambut, matanya cekung ke dalam dengan mata besar yang tajam, yang seakan-akan bisa melihat menembus jiwaku. Kulitnya hitam, dia menggunakan baju panjang dan celana hitam juga.
Ia lalu tersenyum sebentar. aku terkejut melihat senyumnya, begitu menakutkan, bibirnya terlihat begitu panjang saat tersenyum dan membuat, gigi taring bagian atasnya tersembul.
Aku tersadar dengan tidak sopan telah menatapnya, aku langsung menundukkan kepala, dan aku melihat kebawah, begitu panjang kaki sang kakek.
"Maaaaf ... saya mengganggu kaaa..kek " aku membuka pembicaraan dengan gagap dan pandangan tetap menatap ke lantai.
Tidak ada jawaban dari sang kakek, lalu aku mendongak untuk melihat mukanya, dia masih diam dan menatapku, lalu ia menganggukkan kepalanya. Lalu mulutnya mulai terbuka dan dia akhirnya berbicara.
"hmm, kamu siapa ? "
Aku bersyukur kakek ini bisa bicara, karena aku tidak yakin yang ada dihadapanku adalah manusia, dengan dia berbicara, aku bisa meyakinkan diriku bahwa dia adalah manusia yang bisa berkomunikasi. Itulah yang aku percaya, karena aku percaya jin atau hantu tidak berbicara pada manusia.
"saaa...ya.. Sari kek, saya tersesat disinii.. " aku masih menjawab dengan gemetaran
" booleh, saya minta tolong tinggal sebentar saja disini, saya takut " kataku lagi
Dia tidak menjawab, tak berselang kemudian ia membuka pintu rumahnya lebar-lebar dan mempersilahkan aku masuk ke dalam rumahnya.
Aku begitu canggung untuk masuk, badanku kotor, rasanya tidak enak masuk rumah orang dengan badan kotor seperti ini, aku melihat si kakek dan menunduk dengan menunjukkan badanku yang kotor dengan tatapan mataku kepadanya.
SI kakek masih diam saja, kemudian dia melebarkan tangannya ke samping, menyuruhku untuk masuk. Aku menurutinya.
Aku melangkah masuk ke dalam rumah itu, aku maju dua langkah kedepan. Aku bisa merasakan pintu yang ditutup oleh sang kakek di belakangku.
Aku tertegun melihat dalam rumahnya, ruangannya kosong tetapi terang dengan warna kekuningan, seperti ada banyak lampu bohlam yang menerangi ruangan tersebut, titik sinar begitu terang sehingga aku bahkan tak bisa melihat bohlamnya,
" apa benar itu, lampu ya ? " aku memincingkan mataku menatap salah satu sinar tersebut, tapi aku tetap tak bisa melihat sumber lampunya.
Tetapi, perasaan tenang menyelimutiku saat itu juga, aku merasa jiwaku terbius dengan suasana dalam rumah tersebut, aku lupa keresahanku diluar sana, mataku yang basah kini kering tanpa terasa, aku bahkan lupa rasa takut yang selalu menemaniku, aku lupa dengan apa yang terjadi sebelumnya.
Aku lupa, tawa canda teman-temanku selama perjalanan ke tempat ini bersama dengan teman-temanku, aku lupa wajah teman-temanku RIna, Gina dan Sofi, bahkan si ganteng cupu Dika, aku lupa mengapa aku melakukan perjalanan di malam hari ini, aku lupa bahwa aku tersesat beberapa kali di hutan bambu itu, bahkan tergelincir ke bawah lembah.
Apa yang membuat ku lupa ?, sinar kuning keemasan dari lampu itu telah menghipnotisku, aku terus menatap silaunya sinar kuning itu, aku  seakan-akan menjadi seperti laron yang selalu terbang mengelilingi lampu yang menyala.
Lama aku menatap sinar tersebut, aku lalu secara perlahan menoleh untuk memandang si kakek yang ada di belakangku.
Sumpah, aku sekilas melihatnya tersenyum lebar sebelum akhirnya senyum tersebut hilang di saat aku menatap mukanya, senyumnya itu yang membuat hatiku yang sudah tenang, masih bisa merasakan rasa khawatir. Namun dengan cepat aku melupakan senyum itu, aku masih terhipnotis suasana ruangan yang luas dan terang berwarna kuning.
Akalku tak bisa berpikir pada saat itu, sebelum memasuki rumah ini aku tahu rumah ini hanyalah rumah kecil, sebuah gubuk tepatnya, tapi menagpa sekarang menjadi luas didalamnya.
Aku tak mempedulikannya, akal sehatku terasa mati, aku merasa damai dalam suasana ini, seperti melayang terbius dengan candu, begitu tenang, nyaman dan aman.
Aku tersenyum kepadanya.
" Kakek tinggal sendiri disini ? " tanyaku padanya
Dia kembali menatapku, dia tetap tak mau menjawab, rangkaian kata-kata tampaknya sangat mahal bagi dirinya.
Dia lalu mendekatiku, kemudian memegang pundakku. pundakku langsung terasa dingin, tangannya begitu dingin seperti es, tapi mulutku terkunci walau aku tahu ada yang salah dengan rumah ini, dengan kakek ini.
Aku diambang kehilangan kesadaranku, sebenarnya aku menyadari ada yang salah dengan semua ini, tapi kesadaranku tidak membuatku untuk bertindak apapun. Aku sudah terbuai karena lepas dari rasa ketakutan yang menyelimutiku selama seharian. Aku tidak mau lagi menginjak Hutan bambu diluar sana, aku sudah nyaman disini seperti berada di rumah saja, di kamarku, rasanya ingin tinggal disini saja selamanya.
Setelah memegang pundakku ia mendorong perlahan diriku untuk berjalan bersamanya. Aku dibawa ke salah satu ujung ruangan, dimana disana ada sebuah pintu kayu yang tampak indah sekali ukirannya, tampaknya aku menuju pintu belakang rumahnya.
" kemana dia akan membawaku ?" pikirku
Dia lalu mendahuluiku untuk membuka pintu, pintu kayu itu berdecit dan sinar yang lebih terang keluar dari balik pintu tersebut. Aku melangkah masuk dengan perlahan.
Setelah melangkah masuk, aku termenung melihat keadaan sekitar, saat ini aku memasuki sebuah pekarangan, sebuah taman yang luas, seperti padang rumput, dengan langit yang terang seperti siang. Tampak di kejauhan belasan rumah yang kelihatannya seragam.
Ini salah, pikirku, aku tidak mungkin ada di tempat ini, bukankah hari ini masih malam, tapi mengapa disini begitu terang. Aku diam, sambil menatap padang yang luas di belakang rumah si kakek, disana ada beberapa orang yang sedang menatapku ada lelaki dan perempuan, dan juga ada yang keluar dari rumah mereka dari kejauhan, perawakannya mereka hampir sama dengan si kakek.
Mereka mendekatiku, ada sekitar lima orang yang datang dan mengelilingiku, semua tersenyum menakutkan, mereka menatapku dengan pandangan kosong, beda dengan si kakek, yang memiliki pandangan tajam. Mereka semua diam tidak berkata sepatah katapun, hanya tersenyum saja.
Setelah melewati pintu berukir itu, hatiku yang tadinya tenang, kini mulai risau, muncul kembali kekhawatiran pada diriku, akalku tampaknya mulai kembali bekerja, seperti obat bius yang mulai habis khasiatnya dan rasa sakit mulai kembali terasa.
Ini sudah tidak beres pikirku, apa yang harus aku lakukan ?
Sebelum aku berpikir untuk bertindak, seseorang menghampiriku, seorang wanita berambut panjang dengan menggunakan baju panjang warna putih mendekatiku, lalu ia meraih tanganku.
Brrrr..., dinginnya tangan dia, terasa sekali menembus kulitku.
Aku diajak berjalan bersamanya, menuju sebuah meja, diatas meja tersebut banyak sekali berbagai macam makanan yang tampak menggiurkan.
Meja tersebut hanya terdapat satu kursi saja, ia lalu mempersilahkan aku untuk duduk di kursi tersebut.
Aku tahu maksudnya, mereka sedang menjamuku, tetapi mengapa hanya ada satu kursi ? apakah mereka akan menonton aku makan.
Setelah duduk, lengan wanita tersebut mempersilahkan aku untuk mengambil makanan yang hendak aku makan, aku melihat makanan yang banyak sekali, begitu menggiurkan.
Aku ternyata memang merasakan lapar, setelah berlari kesana kemari satu harian ini.
Aku mengambil sebuah gelas kosong untuk minum, wanita itu lalu menuangkan air ke dalamnya, warnanya putih, lalu aku meminumnya, ini susu, pikirku. Air susu itu menuruni tenggorokannku, segar sekali rasanya.
Aku tidak berhenti disana, aku lalu mengambil makanan yang ada di meja dan mulai memakannya, pertama buah-buahan lalu kemudian aku mengambil sebuah paha ayam.
Begitu lezatnya ayam ini. Belum habis ayam yang kumakan, aku kembali mengambil makanan lain dan menyumpalnya lagi ke mulutku.
Mereka semua menontonku makan, bahkan sang kakek menatapku makan sambil tersenyum. Aku merasa tidak peduli dengan mereka, aku kalap, nafsu makan ku seolah-olah meledak, aku seperti babi yang rakus, tamak dan makan apa saja yang ada di hada[anku.
Semua makanan yang ada di meja ini tampak begitu lezat.
Tanpa kusadari, mereka yang menontonku makin banyak, kini jumlahnya bukan lima lagi melainkan belasan. Sambil makan dengan serakahnya, mataku mulai memperhatikan orang-orang yang menontonku, wajah dan perawakan mereka hampir mirip, semua menatapku dengan senyum.
Setelah beberapa saat aku makan, dan aku mulai tidak nyaman dengan tatapan mata mereka.
Aku berhenti mengunyah, aku menyadari aku menjadi sebuah pertunjukan, aku seperti sebuah binatang aneh yang baru saja tertangkap dan menjadi tontonan orang-orang.
Kutelan sisa makanan yang ada di tenggorokanku, aku melihat sekeliling meja, menatap wajah-wajah mereka, ada seseorang yang tampak familiar oleh pandanganku, seorang pemuda, dia berdiri di belakang orang-orang, dia berdiri dengan cara yang aneh, dia berdiri dengan leher tertekuk, matanya melotot, tapi bibirnya tersenyum.
Aku terhenyak, menyadari siapa dia, kulempar makanan yang ada di tanganku, lalu baru saja aku hendak berdiri dari dudukku, tiba-tiba kulihat di sebelah kananku, di belakang orang-orang yang menontonku, muncul sebuah asap hitam yang membesar dengan cepat, seakan-akan asap itu masuk dari sebuah lubang kecil di udara. Orang-orang yang menontonku, menoleh melihat asap itu, dan kemudian mereka berteriak-teriak dengan nada marah, mereka langsung berlarian menuju asap itu.
Sebelum mereka datang ketempat asap tersebut, asap yang sudah membesar itu terbuka, dibalik asap terdapat sebuah pemandangan yang berbeda, mirip sebuah portal hitam yang gelap, aku bisa melihat jelas portal gelap itu adalah pemandangan suasana malam, berbeda jauh dengan terangnya suasana di padang ini.
Dan, tiba-tiba dari kegelapan itu muncullah tubuh tak berkepala yang mengejarku sebelumnya.
Ia tampaknya menyadari aku ada disini, badannya menghadap ke diriku yang sedang duduk dibelakang meja makan, dan ia mulai berjalan cepat menuju ke arahku.


continue to next chapter
Taken from my own personal Novel, already published on Mangatoon & Wattpad

Allright Reserved

Tersesat di kampung Iblis - Chapter 9 - Glutonny Tersesat di kampung Iblis - Chapter 9 - Glutonny Reviewed by anatama2104 on 4:08 PM Rating: 5

No comments:

300 kedua
Powered by Blogger.