Tersesat di kampung Iblis - Chapter 6 - Lost 2


Sari Maladewi
Memang ada sedikit rasa lega di hatiku mendengar Dika akan membantu kita di pos 2 nanti,  tapi bukankah Dika akan menolong kita kalau sudah sampai di pos 2. Kita kan harus menuju kesana terlebih dahulu.
Tapi, kalau medan yang akan kulalui sama dengan pos 1, aku rasa tidak akan ada masalah.
Itu yang aku pikir, dan aku harap.
Tapi kenyataan yang kutemui berbeda.
Gerimis mulai kembali turun setelah kami jalan beberapa menit saja,  Rina menyarankan kita kembali saja ke pos 1 untuk berteduh,  tetapi aku tidak mau,  tanggung rasanya harus balik lagi.
Keputusan yang berani menurutku atau konyol?
Kini kita tidak melalui jalan tanggul-tanggul yang tersedia lagi,  kita akan melewati jalan setapak yang tidak terlihat jelas dengan senter yang kubawa,  jalan nya tidak rata, kebanyakan ditutupi oleh tanah becek.
Aku mengenal daerah ini,  ini daerah yang membuat aku panik tadi siang, ingatanku membuat ku mengingat kembali ketakutan yang aku rasa.
Sedikit demi sedikit ketakutan itu mulai kembali kepadaku.
Aku berusaha tidak mengingat mengapa aku takut tempat ini,  tapi makin aku berusaha melupakannya makin kuat aku mengingat apa yang terjadi siang tadi.
Saat ini tidak ada suara-suara tonggeret lagi,  digantikan serangga-serangga malam seperti jangkrik yang bersautan,  suara hening dan sesekali angin malam yang membuat daun-daun bambu bergesekan, batang-batangnya pun ikut bergoyang-goyang, membuat bunyi seperti kursi reot,  semua itu, konstan mengisi telingaku saat ini.
Phobia kegelapan yang kubawa sejak kecil mulai kembali memenangkan peperangan dalam batinku.
Ilalang-ilalang tetap setia menjadi pagar di kanan kiriku,
Aku kembali mengingat,
Ada yang mengikutiku tadi siang di balik ilalang-ilalang ini.
Aku bergidik kembali,  keringat dingin mulai membasahiku menambah basah wajahku yang sudah diterpa gerimis malam.
Aku tidak fokus pada jalan yang aku terangi dengan senter,  ujung mataku jelalatan ke kanan kiri,  aku tidak berani memalingkan muka.
Jantungku berdegup kencang,  tanganku menggenggam erat tangan Rina.
Apa yang telah kulakukan..?
Mengapa aku takabur?  Untuk melakukan hal ini.
Saat ini,  setiap langkahku merupakan perjuangan keberanian.
Aku yakin, kami berputar-putar di hutan bambu ini,  tapi kami belum juga menemukan tanda ke pos 1.
Aku tahu, aku harus berusaha membantu Rina untuk mencari tanda, tapi yang aku lakukan hanya menatap ke bawah, ke sinar senter, ke zona amanku, aku tidak berani menengok ke kiri dan ke kanan lama-lama.
Kaki rasanya letih,  seperti mati rasa dan harus kuseret setiap langkahnya.
"Sabrina.. Mana tandanya!!?"
Aku tidak tahan lagi dengan kesunyian ini, aku ingin mendengar Rina berbicara, agar tahu dia tetap bersamaku.
"jangan panik Sar, cari terus"
Walau suaranya terdengar seperti ada rasa takut,  aku lega dia masih ada disampingku dan masih tangannya lah yang aku genggam.
Andai dia tahu,  aku tidak membantunya mencari,  Rina pasti marah,  aku pasrah,  biar Rina saja yang mencari dan memimpinku kemanapun dia membawaku.
Tapi aku lelah dengan ketakutan yang ada dalam hatiku ini,  aku merengek terus, bagai anak yang merengek-rengek minta pulang pada ibunya.
Sabrina membentakku,  aku mulai merasakan lelehan air hangat di ujung-ujung mataku
"Ya,  Allah kita tersesat Rina.." tangisku,
Entahlah apa jawaban yang keluar dari mulut Rina,  aku tidak bisa mendengar,  lagi,  seakan-akan kupingku pengang dengan kesunyian malam dan pandanganku kabur karena air mata.
Tiba-tiba, entah darimana,  aku teringat dengan Orang tua ku, ayah dan bundaku,  senyum mereka, kebaikan-kebaikan mereka dan aku yakin mereka pun sedang mengingatku saat ini.
Astagfirullah,
Astagfirullah,
Astagfirullah.
Aku berusaha menenangkan diri,  sedikit demi sedikit berhasil, hempitan di dadaku mulai berkurang,  tetesan air mata tiba-tiba berhenti.
Aku bisa melihat Sabrina dengan jelas sekarang,  aku mulai mendengar apa yang dikatakan dari mulutnya.
Telingaku kembali normal,  aku masih mendengar nyanyian serangga malam,  hembusan angin diantara daun-daun bambu,  bunyi reot batang-batangnya,  dan suara air mengalir.
Ini sungai,  sungai dangkal tempat aku rehat tadi siang,  seharusnya kita tidak sampai sini,  ini kejauhan tersesatnya.
Aku mengikuti Rina untuk kembali menyusuri jalan kembali menuju pos 1, ini bukanlah hal mudah bagiku.
Walau aku sudah tenang kembali,  ini merupakan ujian kembali atas ketangguhanku.
Kami berjalan kembali,  mencari tanda-tanda di pohon, kita mengubek-ubek daerah itu, tapi tetap tidak kami temukan.
Ketangguhanku hanyalah sesaat saja,  aku kembali ke dalam jati diriku yang sebenarnya.
"Kita tersesat Rinnn..."
Rina diam sesaat kemudian menyuruhku untuk fokus mencari tanda di pohon-pohon,  karena aku yang memegang senter,  mau tidak mau aku harus bantu mencari.
Senterku ku arahkan lurus ke tengah ke batang-batang pohoh sekitar kita,  hanya ada ilalang,  pohon-pohon bambu dan beberapa pohon besar.
Tiba-tiba kilasan sinar ku mengenai sebuah bayangan di sebuah pohon besar, ada bayangan yang tampak menggantung.
Aku sinari bayangan itu kembali,
Astagfirullah,  arghhhhh...
Aku terhenyak kaget,  ada seorang laki-laki yang menggantung disana,  dengan tali terikat di lehernya, lidahnya menjulur keluar,  matanya melotot.
Aku langsung syok, bulu kudukku berdiri,  kupalingkan mukaku secepat-cepatnya.
"Apaan, Sar.. " tanya Rina
Aku tidak menjawab hanya menunjukkan senterku ke laki-laki yang menggantung tersebut.
"Sari,  ga ada apa-apa disana"
MasyaAllah,  apakah benar, Rina tidak bisa melihat yang aku lihat,  apa itu hanya imajinasiku yang dipicu sugesti oleh rumor hutan ini pernah ada yang bunuh diri disini.
Aku beranikan diriku untuk kembali melihat ke arah pohon tadi.
Ternyata, dia masih ada disana, badan dan kakinya bergoyang-goyang, seakan-akan laki-laki itu baru saja loncat melakukan bunuh diri.
Raut mukanya penuh dengan guratan kesakitan,  lehernya seperti patah tertarik tambang yang mengikatnya.
Aku tidak bisa membayangkan aku melihat hal seperti ini,  darah di kepalaku seperti tersirap ke belakang kepalaku,  aku tak bisa menahan tangis karena ketakutan.
Rina menatapku dengan kebingungan dan tak berapa lama kemudian dia meraih tanganku untuk berlari dari tempat itu.
Aku tidak tahu,  Rina membawaku kemana,  aku mengikuti langkahnya yang cepat,  begitu banyak rintangan di jalan yang kami lalui.
Batu kerikil,  akar-akar pohon di bawah kaki kami,  tidak bisa kami rasakan lagi.
Kami terus berlari dan berlari di antara kegelapan malam, sampai di suatu tempat, selagi kakiku sedang melangkah, aku merasakan sesuatu di kakiku, yang membuat aku tersandung dan jatuh.
Aku rasa itu bukan akar atau batu,  aku seperti merasakan jari-jari tangan menahan pergelangan kakiku.
Kejadiannya begitu cepat, aku terjatuh dan sialnya aku jatuh dan merosot ke sebuah tempat yang lebih rendah dari tempat jatuhku.
"Sabrinaaaa.... Tolonggg"
Aku julurkan tanganku ke arah Rina, senterku terjatuh,  Rina tidak bisa menggapai tanganku,  aku terus merosot jatuh ke bawah.
Licinnya tanah karena hujan membuat ku tergelincir cepat,  kurasakan percikan lumpur, ilalang dan batu-batuan menerpa wajahku.
Aku terus merosot,  tanganku kugapai-gapaikan untuk mencari apapun yang bisa menahan jatuhnya diriku.
Aku berhasil menggengam sesuatu, seperti sebuah akar,  tetapi ternyata itu tidak bisa menahanku, benda itu malah terbawa oleh genggamanku,  ikut meluncur ke bawah.
Aku pasrah, menunggu apa yang ada di bawahku,  tak berapa lama kemudian aku berhenti tergelincir, aku sampai suatu dasar entah dimana, aku diam terduduk di kegelapan.
Aku berusaha membiasakan mataku dengan kegelapan,  tanpa kusadari aku masih memegang benda yang tak sengaja ku bawa tarik bersamaku, aku angkat benda itu,  seperti sebuah benda bulat dan aku memegang sabutnya, kurasa.  Seperti kelapa pikirku.
Tapi beberapa saat saat mataku sudah terbiasa dengan gelap,  aku sadar apa yang kupegang,  itu bukan sabut kelapa yang kupegang,  melainkan rambut.
Aku memegang rambut yang menempel pada sebuah benda,  aku langsung menyadari benda bulat itu apa,  sebuah kepala,  aku bisa lihat dengan sinar seadanya sebuah kepala setengah busuk,  dengan salah satu matanya hilang,  dan rongga matanya dipenuhi belatung kecil,  hidung dan mulutnya hanya tinggal tulangnya saja ada sedikit daging yang menempel disana.
"Arghhhhhh.... "
Dengan spontan kulempar kepala itu,  kepala itu menggelinding ke tumpukan ilalang entah kemana.
Aku bergidik,
Ya,  Allah, cobaan apalagi ini yang harus aku hadapi,  aku menangis tanpa bersuara.
"Sabrinaaa...  Tolong. .."
Suaraku tak bisa keluar,  hanya getaran kecil saja di tenggoranku,  badanku gemetaran hebat.
Aku masih diam terduduk,  mencoba berpikir apa yang harus aku lakukan.
Akhirnya aku beranikan untuk berdiri, dan melihat arah darimana jatuhku tadi,  aku bisa melihat jalur dimana aku terjatuh.
Aku lalu melihat sekitar, untuk mencari cara bagaimana aku bisa kembali keatas.
" Rin..  Rina...  Tolong,  aku.. " Lirihku pelan.
"Gua dibawah Rin.."
Aku hanya berharap Rina masih diatas, mendengarku dan sedang mencoba mencari cara untuk menolongku.
Tapi hanya kesunyian yang menjawab.
"Rinaaaa... " aku kembali memanggil dengan agak kencang,  mataku buram tertutup air mata dan lumpur.
Masih tidak ada balasan,  aku kembali duduk, memegang kepalaku yang menatap ke bawah.
Aku putus asa. Ketakutan yang amat sangat menguasaiku, menangis hanya itu yang aku bisa.
Tiba-tiba disampingku, kudengar suara seperti orang yang melangkah melewati menembus ilalang,  dan batu-batuan.
Aku berdiri sambil ketakutan,  berusaha melihat siapa yang datang
"Rin.. Rina..? "
Diam saja tidak ada jawaban,  sosok itu makin jelas datang,  dan itu bukan Rina!.
Makin lama, makin dekat dan pandanganku makin jelas,  sesosok tubuh pria,  dengan celana jeans yang usang,  badannya kurus,  dan memakai kaos tangan buntung,  baju dan badannya kotor.
Aku berusaha menatap wajahnya,
Aku menelan ludah,  dan bulu kudukku kembali berdiri untuk kesekian kalinya.
Lehernya dipenuhi darah kering,   warna merah gelap mewarnai kaos bagian lehernya, aku tidak bisa menemukan kepalanya!.
Aku jatuh kembali ke lantai tanah, menatap tubuh laki-laki tanpa kepala ini,
Aku lumpuh,  tidak bisa bergerak
Dia makin mendekat,  dan menjulurkan tangannya kepadaku.

continue to next chapter

Taken from my own personal Novel, already published on Mangatoon & Wattpad

Allright Reserved
Tersesat di kampung Iblis - Chapter 6 - Lost 2 Tersesat di kampung Iblis - Chapter 6 - Lost 2 Reviewed by anatama2104 on 3:56 PM Rating: 5

No comments:

300 kedua
Powered by Blogger.